Berita

Berita dan Informasi Kepesantrenan

(2 votes)
Harlah NU ke 95 Harlah NU ke 95 Media Of AIC

PESANTREN RAHMATAN LIL 'ALAMIN: Sebuah Refleksi Mempertemukan Kutub Kebangsaan dan Keagamaan Menyambut 95 Tahun Nahdhatul 'Ulama

February 01, 2021

Hubbul Wathon minal Iman, adagium yang tidak asing lagi di telinga kita semua, masyarkat Indonesia secara umum dan masyarakat pesantren atau Nahdhiyin khususnya. Penulis awali tulisan ini dengan kalimat tersebut selain karena spiritnya yang akan coba penulis gali pada tulisan ini, adalah untuk bertabaruk –mengambil keberkahan– kepada pencetus jargon tersebut yakni Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah, pendiri Nahdhatul ‘Ulama. Kalimat itu menjadi lebih akrab di telinga kita pada peringatan peristiwa-peristiwa penting seperti Hari Santri, Hari Pahlawan, termasuk Hari Lahir Nahdhatul 'Ulama yang diperingati setiap 31 Januari tahun Miladiah. Kalimat itu terus-menerus kita gaungkan sebagai api penyemangat dalam berjuang baik di pesantren, masyarakat bahkan dalam bingkai berbangsa dan bernegara. Pesantren sangat tidak asing dengan adagium itu, bahkan sudah mengejawantahkannya selama beratus-ratus tahun ke dalam nafas pendidikan, pergerakan dan perjuangannya.

Laiknya Hubbul Wathon minal Iman yang menyatukan dua spirit yang banyak dipandang orang berseberangan, yakni spirit keagamaan dan kebangsaan atau spirit keislaman dan keindonesiaan. Pesantren, penulis kira adalah komponen masyarakat bangsa yang paling fasih dalam menginterpretasikan sekaligus mengaplikasikan jargon tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari. Ini semua kita bisa tengok sedikit ke belakang melalui uraian-uraian sejarah yang bukan hanya isapan jempol, tapi betul-betul terasa sebagai sumbangsih pesantren, yang katanya lembaga pendidikan tradisional berbasis agama terbelakang dalam pandangan stereotip segelintir masyarakat, justru terbukti sebagai salah satu ‘mesin’ untuk mencapai dan mempertahankan juga mengisi kemerdekaan.

Stereotip sementara masyarakat tentang pesantren dengan kesan terbelakang, tak punya andil untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dan anggapan lainnya tidak serta-merta dapat disalahkan. Pasalnya kita akui, minim kita temui dalam buku-buku sejarah anak-anak kita bahkan kita waktu sekolah dahulu, tentang eksistensi dan andil pesantren dalam turut serta memperjuangkan bangsa. Tidak sedikit bahkan, cerita-cerita sejarah yang kabur, samar bahkan dihapus tentang perjuangan pesantren dalam merebut kemerdekaan. Padahal, Pancasila yang menjadi dasar negara kita adalah sesuatu yang legitimasinya menunggu istikharah seorang Kyai Pesantren yang di awal sudah penulis sampaikan, yakni Kyai Hasyim yang diajukan Bung Karno saat terjadi selisih pendapat soal sila pertama.

Tak heran, seorang penulis Sayyid Asad Shihab menulis sebuah buku tentang biografi KH. Hasyim Asy’ari berjudul ‘Allamah Muhammad Hasyim Asyari Wadhiu Libinati Istiqlali Indonesia. Sebuah buku berisi perjalanan Kiai Hasyim yang juga menyebut bahwa Kiai Hasyim sebagai peletak dasar kemerdekaan Indonesia. Sebuah pendapat yang sangat mengesankan dan memang teruji dengan kapasitas Kyai Hasyim yang bukan hanya sebagai kyai yang memimpin pesantren di desa tapi jauh melampaui itu semua, beliau adalah pencetus dan peletak dasar kemerdekaan negeri ini baik secara dzahir maupun batin.
Uraian lain, soal Resolusi Jihad misalnya, Resolusi Jihad Nahdhatul ‘Ulama 22 Oktober 1945 adalah pemantik semangat Arek-arek Suroboyo dalam melakukukan perlawanan pada Peristiwa 10 November yang ditulis rapih dalam sejarah sebagai Hari Pahlawan. Ada gulungan sejarah yang tidak timbul ke permukaan di belakang kejadian dahsyat tersebut. Peristiwa ini penulis pikir adalah kolaborasi semangat kebangsaan dan keagamaan yang tergambar dari elemen paling tinggi yakni Bung Karno yang ketika itu sebagai presiden, sowan untuk yang kesekian kali dengan mengirim utusan ke Hadratus Syaikh meminta fatwa dan irsyadat soal invansi kembali Belanda yang berbonceng Netherlands Indies Civil Administration (NICA) atau Sekutu ketika itu yang mendaratkan pasukannya di utara Surabaya dan sangat mengancam kemerdekaan Indonesia yang baru seumur jagung. Implikasinya terasa sampai elemen paling bawah, berupa perjuangan masyarakat mempertahankan Suarabaya dan kemerdekaan Indonesia khususnya.
Ini yang tidak nampak dalam buku sejarah kita, ikhtiar lahir dan batin dilakukan Kyai Hasyim, di antaranya mengumpulkan kyai-kyai dari pesantren se-Jawa dan Madura untuk menanggapi permintaan Bung Karno. Kesepakatan antara Kyai Hasyim dan para kyai inilah yang kemudian melahirkan Resolusi Jihad NU pada 22 Oktober 1945 yang di antaranya berisi seruan ke-fardhuain-an tiap-tiap muslim apalagi kyai dan santri serta masyarakat Nahdhiyin untuk mengangkat senjata, berjuang mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sedang terancam. Sekalipun gugur, maka akan digolongkan sebagai mati yang syahid dan mendapat maqom para syuhada. Sontak, para kyai, santri dan masyarakat Surabaya Raya dan Jawa Timur khsusunya seperti tersetrum dengan seruan terserbut. Semua bahu-membahu berjuang mengusir penjajah yang mencoba datang kembali dengan apapun yang dimiliki. Santri dengan tenaganya, para kyai dengan tirakatnya bahkan banyak para kyai yang turun ke medan pertempuran, ibu-ibu dengan perannya menyiapkan logistik dan makanan selama pertempuran. Termasuk –seorang santri– Bung Tomo, yang namanya harum dalam sejarah, seketika mendengar seruan Resolusi Jihad, sowan ke Kyai Hasyim untuk menggelorakan semangat juang Arek-arek Suroboyo. Samar-samar juga kita dengar nama, seperti Harun seorang santri misterius yang diduga kuat mati syahid setelah menghabisi Jenderal A.W.S Mallaby pada pertempuran empat hari Surabaya.

Belum lagi perjuangan-perjuangan pesantren, santri dan kyai lainnya sebelum masa kemerdekaan, sosok lain bertaburan seperti KH. Zainal Mustofa di Tasikmalaya yang memberontak terhadap Jepang akibat pemaksaan hak sumber daya dan mengikuti upacara Seikerei atau penghormatan pada kaisar ke arah Tokyo dengan membungkukkan badan. Akibatnya beliau harus syahid dengan hukuman pancung di Ancol Jakarta Utara. Sekitar Jakarta ada KH. Noer Ali  yang memimpin pertempuran melawan Belanda dan kiai lainnya seperti KH. Zainul Arifin dan Pangeran Diponegoro, bahkan sosok Jenderal Besar Sudirman, seorang santri sejati pen-dawam wudhu dan ahli tirakat. Belum lagi tokoh-tokoh pesantren yang berjuang di meja perundingan dan diplomasi seperti putra Kiai Hasyim sendri yakni KH Wahid Hasyim atau sosok KH. Syam’un yang belum lama dianugrahi gelar pahlawan nasional.

Rasanya tak cukup berlembar-lembar mengisahkan para kyai, santri dan pesantren dalam berjuang untuk negeri ini, sampai sini penulis ingin mengatkan bahwa Merah Putih adalah hasil kolaborasi antara merahnya cucuran darah dan putihnya ketulusan hati perjuangan santri serta kyai. Bertahun-tahun kemudian pesantren tetap menunjukkan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan paripurna pencetak generasi serba bisa yang mampu mengintegralkan semangat keislaman dan keindonesiaan.
Akhir milenium kedua, 1999 sejarah kembali tercatat, soorang santri tulen produk pesantren yakni KH Abdurrahman Wahid yang juga masih bersilsilah dengan kakeknya Kyai Hasyim membuktikan bahwa seorang santri bisa berada pada level pucuk pimpinan tertinggi negeri ini dengan menjadi seorang presiden. Sekali lagi ini membuktikan ada ramuan dan treatment pendidikan khusus yang rasanya hanya ada di pesantren sehingga kelirulah ketika seseorag mengatakan pesantren hanya menjadi tempat belajar agama, sorogan dan bandongan kitab kuning atau tempat pendidikan tradisional biasa.

Tentu apa yang bagi kita sebagai masyarakat pesantren potret tentang proses pendidikan di pesantren rasanya harus kita bagikan tampilan gambarnya ke masyarakat yang lebih luas bahkan ke dunia. Islam Rahmatan lil ‘Alamin kita bisa wujudkan dengan pesantren Rahmatan lil ‘Alamin ke seluruh dunia. Tunjukkan bahwa selain belajar nahwu, shorof, lughoh, siroh, balaghoh, fiqh, ushul fiqh, tassawuf, aqidah, Qur’an, Hadits dan lainnya yang berbau agama. Kita juga dengan simultan diajarkan tentang toleransi, tenggang rasa, saling menghargai, moderasi yang merupakan benang rajut yang paling kokoh dalam menenun persaudaraan sebangsa dan senegara. Bahkan pelajaran-pelajaran demikian tembus, bukan sekedar teori tapi praktik dan keseharian yang dicontohkan oleh para kyai dan guru-guru kita. Pun, santri-santrinya, dengan latar belakang berbeda suku, ras, golongan, daerah dan latar sosial budaya lainnya. Santri tetap bisa hidup rukun dalam pesantren yang menjadi miniatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Nasionalisme apa lagi, hormat bendera, upacara bendera, perayaan 17 Agustus, Hari Pahlawan, Sumpah Pemuda dan atribut nasionalisme yang lain, bukan barang asing di pesantren. Itu adalah nafas dan gerak-gerik santri serta kyai dalam berkehidupan dan bermasyarakat di pesantren. Maka, pada titik ini, praktis pesantren adalah lembaga pendidikan dan keagamaan yang mempertemukan dan membuat irisan besar antara semangat beragama dan semangat berbangsa. Pesan ini yang perlu kita sampaikan kepada masyarakat bahkan dunia, agar semua tahu, betapa indahnya harmonisasi keislaman dan kebangsaan yang setiap saat memenuhi udara pesantren.

Sebagai refleksi, penulis ingin meminjam Teori Gerak Siklus Sejarah yang termaktub dalam masterpiece Ibnu Khaldun seorang sosiolog Muslim kenamaan yakni Mukaddimah. Asumsi umumnya teori ini mengatakan sejarah adalah sebuah siklus yang selalu berputar dan bergerak melingkar, peristiwa historis yang dulu pernah terelukis dengan tinta emas sejarah, setelah melewati berbagai masa, pasti suatu saat akan muncul kembali ke permukaan. Fase-fase keemasan yang pernah terjadi di masa lalu akan kembali terjadi di masa kini ataupun masa depan. Penulis sedikit menganalisis, masa-masa kejayaan pesantren sebagai pilar utama dalam merebut kemerdekaan Indonesia, sebentar lagi akan terulang sebagai pilar uatama yang melukis tinta emas sebagai pengisi kemerdekaan. Titik temu tadi selain akan melahirkan pesantren-pesantren luar biasa juga akan melahirkan alumni-alumni pesantren yang mumpuni dalam segala disiplin keilmuan dan mampu berkiprah di masyarakat berbagai sektor.
Education Management Information System (EMIS) Kementerian Agama menyebut paling tidak kini ada 28.961 pondok pesantren se-Indonesia dengan lima juta santri mukim, satu setengah juta tenaga pengajar dan 18 juta santri-santri yang juga terdapat di lembaga-lembaga pendidikan Al-Qur’an dan madrasah-madrasah. Jika dipadukan dengan data Rabithah Ma’ahid Al-Islamiyah (RMI-NU) sekitar 90 persennya adalah lembaga pesantren berlatar Nahdhatul ‘Ulama. Ini fakta yang membesarkan hati kita dalam menyongsong perputaran sejarah yang lebih mengemaskan lagi bagi pesantren dan semua elemennya.
Pemerintah bahkan sudah menjadikan momentum Resolusi Jihad NU 1945 sebagai Hari Santri Nasional berdasarkan Keputusan Presiden No. 22 tahun 2015. Sedikit banyak kita sudah punya pondasi berpijak, kedepan harus kita maksimalkan sebagai elemen pesantren untuk berlari memajukan kualitas pendidikan, sumber daya serta networking dan digitilasisasi di era media baru ini. Elemen pesantren harus mengambil tempat dan berperan besar agar pesantren terus dapat berdiri kokoh sebagai penyangga agama dan bangsa, titik temu keislaman dan keindonesiaan yang pada muaranya akan menjadi bahan mengukir tinta emas selanjutnya, bahwa pesantren bukan hanya pejuang kemerdekaan tapi juga pengisi kemerdekaan. Ulang tahun Nahdhatul 'Ulama ke 95 ini harus betul-betul dimanfaatkan dan dijadikan jalan bagi terwujudnya nasib baik perputaran sejarah itu.

Read 5120 times Last modified on Monday, 01 February 2021 12:41

Cari

Pengunjung

17167851
Hari ini
Minggu Lalu
Bulan lalu
Semua
3167
17073419
330507
17167851

Your IP: 216.73.216.85
2025-10-08 02:34

Instagram